TECTONIC GEOMORPHOLOGY - DASAR DAN PARAMETER DALAM IDENTIFIKASINYA
Bagaimanakah cara mengetahui suatu bentuklahan merupakan hasil aktivitas tektonik? Lalu apakah parameter dalam mengidentifikasikan suatu geomorfologi tektonik di lapangan? Berikut merupakan beberapa penjelasan dasar mengenai Geomorfologi Tektonik dan parameter utamanya dalam suatu analisis bentuklahan.
Indonesia memiliki
sejarah tektonik yang sangat panjang dan karakteristik khusus, karena merupaka daerah pertemuan 3 lempang utama di Bumi (Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik) sehingga memiliki kejadian gempa yang sangat aktif. Pemahaman mengenai sejarah tektonik dari Indonesia akan sangat penting karena nantinya akan menunjukkan bagaimana proses geologi yang terjadi dalam konteks ruang dan waktu yang kemudian dapat digunakan dalam pencarian sumber daya geologi tertentu. Dengan demikian, perlu dilakukan
peninjauan dan evaluasi tektonik dari Indonesia yang terkait geomorfologi tektoniknya.
Hal ini dapat diketahui dengan mendeskripsikan apa saja yang diperlukan untuk
memahami tektonik geomorfologi dari parameter atau marker yang secara umum terjadi di
geomorfologi tektonik.
Dalam memahami tektonik,
perlu diketahui karakteristik dari gempa itu sendiri. Gempa secara garis besar
akan menunjukkan periode perulangan yang disebabkan adanya proses tektonisme
dari bumi. Periode perulangan ini menurut Burbank dan
Anderson (2012) dibagi menjadi periode gempa teratur dan periode
gampa acak (Gambar 1). Pada periode gempa teratur, akan terjadi perulangan
pola yang mirip dan dibedakan berdasarkan magnitudo gempa tersebut. Pola yang
tercatat kemudian akan menunjukkan bentukan-bentukan tertentu yang mengindikasikan
adanya suatu proses deformasi secara periodik, sehingga dapat terekam secara
geologi dan menjadi indikator adanya marker.
Gambar 1 Pola periode gempa teratur berdasarkan jejak
gempa terhadap nilai pergeseran (Burbank dan
Anderson, 2012).
Sementara pada pola
periode gempa acak akan menghasilkan pola yang tidak seragam, dengan magnitudo
yang berbeda-beda tergantung pada lokasi dan faktor tektoniknya. Pola ini dapat
mengindikasikan bahwa skala gempanya tidak sebesar pola teratur, karena saat
terjadi stress maka energi yang
dilepaskan adalah parsial, sehingga pola yang dibentuk tidak beraturan karena
energinya masih tersimpan. Oleh karena itu, dalam membaca periode gempa acak
perlu dilihat kondisi regionalnya bagaimana, sehingga akan memudahkan dalam
memprediksi periode gempa yang terjadi pada lokasi tersebut (Gambar 2).
Gambar 2 Pola periode gempa acak berdasarkan Sejarah gempa terhadap nilai perubahan posisi atau displacement (Burbank dan
Anderson, 2012).
Parameter atau marker yang dapat dipergunakan antara
lain kondisi pantai, bidang sungai dan pola kelurusan. Kondisi pantai yang
dapat teramati adalah teras pantai, garis pantai maupun delta. Sementara pada
bidang sungai dapat menunjukkan teras dan kipas aluvial, serta pada pola
kelurusan dapat ditunjukkan oleh punggungan perbukitan maupun pola sungainya.
Teras pantai akan
menunjukkan adanya pengaruh kontrol tektonik terhadap suatu bentukan teras
serta elevasi yang terekam. Pengangkatan teras ini akan terjadi seiring dengan
proses tektonisme yang terjadi pada suatu wilayah. Secara umum semakin banyak
undak yang dibentuk, maka proses pengangkatan yang terjadi juga semakin sering
(Gambar 3).
Gambar 3 Contoh perubahan teras pantai dan kaitannya
terhadap proses pengangkatan. (A) menunjukkan jumlah teras yang terbentuk pada Turakirae Head, Selandia Baru dan ditarik penampang di
dua lokasi (a-a’ dan b-b’) pada (B) yang menujukkan terjadinya pengakatan,
dengan pengangkatan pertama terjadi semakin ke utara (Burbank dan
Anderson, 2012).
Lalu teras sungai dapat
menunjukkan adanya proses pengangkatan. Pada awalnya aliran sungai akan
mengalir ke elevasi yang lebih rendah, kemudian terjadinya proses pengangkatan
mengakibatkan adanya kenaikan pada badan sungai, sehinga terjadi kenaikan badan
sungai. Proses sungai yang awalnya telah jadi lateral, kembali mengalami
gerusan secara vertikal dan badan sungai yang terangkat kemudian menjadi teras.
Proses ini terjadi menyebabkan adanya agradasi dari sungai tersebut. Proses
degradasi juga terjadi pada teras yang membentu longsoran-longsoran, sehingga
perlu cukup cermat dalam menarik korelasi untuk suatu teras sungai (Gambar 4).
Gambar 4 Proses teras sungai berkaitan dengan proses
tektonisme. (A i) menunjukkan teras agradasi yang diakibatkan pengangkatan dan
erosi vertikal cukup signifikan. (A ii) merupakan teras degradasi yang
diakibatkan adanya perubahan elevasi akibat suplai yang tinggi, sehingga
material lebih banyak. (B i dan ii) menujukkan penarikan teras sungai yang
berpasangan maupun tidak berpasangan. (C) merupakan penggambaran suatu
perkembangan teras sungai dengan berbagai parameter yang telah disebutkan
sebelumnya (Burbank dan
Anderson, 2012).
Sementara pola kelurusan
dapat menunjukkan adanya perubahan tertentu yang dialami suatu bentuk lahan
akibat adanya deformasi tektonik dengan melihat kelurusannya. Secara garis
besar adalah melihat bagaimana pola tersebut mengalami pembelokan maupun adanya
perubahan yang membuat tidak terjadinya kemenerusan pada pola ini. Sebagai
contoh, pada suatu aliran sungai yang terlihat adalah sungai yang membelok
setelah sebelumnya menujukkan pola yang lurus. Kemudian perubahan ini dapat
menjadi indikasi adanya pergeseran secara tektonik yang membuat arah aliran
sungai membelok (Gambar 5).
Gambar 5 Proses pembelokan sungai yang menunjukkan pengaruh
proses tektonik didalamnya. (A) adanya sungai yang memiliki jarak 12m
masing-masingnya yang menunjukkan adanya pergeseran sungai yang terjadi secara
periodik. (B) Kenampakan peta yang menujukkan perubahan aliran sungai akibat
sesar mendatar yang mempengaruhi kondisi kontur daerah tersebut (Burbank dan
Anderson, 2012).
Parameter-parameter diatas
dapat dipergunakan dalam melakukan evaluasi gempa di suatu wilayah. Sebagai contoh, pada Pulau Jawa dalam pengamatan teras-teras pantai dapat dilakukan di Pantai Selatan Jawa, kemudian
pengamatan teras-teras sungai dapat diamati pada daerah aliran Bengawan Solo,
serta adanya pola kemenerusan dapat dilihat pada daerah-daerah perbukitan
seperti di Pegunungan Selatan maupun Pengunungan Bayah.
REFERENSI
Burbank, D. W. dan
Anderson, R. S. (2012). Tectonic geomorphology (2nd ed.). Chichester,
West Sussex, UK: John Wiley & Sons.
Komentar
Posting Komentar