TECTONIC GEOMORPHOLOGY - DASAR DAN PARAMETER DALAM IDENTIFIKASINYA

Diluvium - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bagaimanakah cara mengetahui suatu bentuklahan merupakan hasil aktivitas tektonik? Lalu apakah parameter dalam mengidentifikasikan suatu geomorfologi tektonik di lapangan? Berikut merupakan beberapa penjelasan dasar mengenai Geomorfologi Tektonik dan parameter utamanya dalam suatu analisis bentuklahan.



Indonesia memiliki sejarah tektonik yang sangat panjang dan karakteristik khusus, karena merupaka daerah pertemuan 3 lempang utama di Bumi (Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik) sehingga memiliki kejadian gempa yang sangat aktif. Pemahaman mengenai sejarah tektonik dari Indonesia akan sangat penting karena nantinya akan menunjukkan bagaimana proses geologi yang terjadi dalam konteks ruang dan waktu yang kemudian dapat digunakan dalam pencarian sumber daya geologi tertentu. Dengan demikian, perlu dilakukan peninjauan dan evaluasi tektonik dari Indonesia yang terkait geomorfologi tektoniknya. Hal ini dapat diketahui dengan mendeskripsikan apa saja yang diperlukan untuk memahami tektonik geomorfologi dari parameter atau marker yang secara umum terjadi di geomorfologi tektonik.

Dalam memahami tektonik, perlu diketahui karakteristik dari gempa itu sendiri. Gempa secara garis besar akan menunjukkan periode perulangan yang disebabkan adanya proses tektonisme dari bumi. Periode perulangan ini menurut Burbank dan Anderson (2012) dibagi menjadi periode gempa teratur dan periode gampa acak (Gambar 1). Pada periode gempa teratur, akan terjadi perulangan pola yang mirip dan dibedakan berdasarkan magnitudo gempa tersebut. Pola yang tercatat kemudian akan menunjukkan bentukan-bentukan tertentu yang mengindikasikan adanya suatu proses deformasi secara periodik, sehingga dapat terekam secara geologi dan menjadi indikator adanya marker.


Gambar 1  Pola periode gempa teratur berdasarkan jejak gempa terhadap nilai pergeseran (Burbank dan Anderson, 2012).

Sementara pada pola periode gempa acak akan menghasilkan pola yang tidak seragam, dengan magnitudo yang berbeda-beda tergantung pada lokasi dan faktor tektoniknya. Pola ini dapat mengindikasikan bahwa skala gempanya tidak sebesar pola teratur, karena saat terjadi stress maka energi yang dilepaskan adalah parsial, sehingga pola yang dibentuk tidak beraturan karena energinya masih tersimpan. Oleh karena itu, dalam membaca periode gempa acak perlu dilihat kondisi regionalnya bagaimana, sehingga akan memudahkan dalam memprediksi periode gempa yang terjadi pada lokasi tersebut (Gambar 2).

Gambar 2  Pola periode gempa acak berdasarkan Sejarah gempa terhadap nilai perubahan posisi atau displacement (Burbank dan Anderson, 2012).

Parameter atau marker yang dapat dipergunakan antara lain kondisi pantai, bidang sungai dan pola kelurusan. Kondisi pantai yang dapat teramati adalah teras pantai, garis pantai maupun delta. Sementara pada bidang sungai dapat menunjukkan teras dan kipas aluvial, serta pada pola kelurusan dapat ditunjukkan oleh punggungan perbukitan maupun pola sungainya.

Teras pantai akan menunjukkan adanya pengaruh kontrol tektonik terhadap suatu bentukan teras serta elevasi yang terekam. Pengangkatan teras ini akan terjadi seiring dengan proses tektonisme yang terjadi pada suatu wilayah. Secara umum semakin banyak undak yang dibentuk, maka proses pengangkatan yang terjadi juga semakin sering (Gambar 3).


Gambar 3  Contoh perubahan teras pantai dan kaitannya terhadap proses pengangkatan. (A) menunjukkan jumlah teras yang terbentuk pada Turakirae Head, Selandia Baru dan ditarik penampang di dua lokasi (a-a’ dan b-b’) pada (B) yang menujukkan terjadinya pengakatan, dengan pengangkatan pertama terjadi semakin ke utara (Burbank dan Anderson, 2012).

Lalu teras sungai dapat menunjukkan adanya proses pengangkatan. Pada awalnya aliran sungai akan mengalir ke elevasi yang lebih rendah, kemudian terjadinya proses pengangkatan mengakibatkan adanya kenaikan pada badan sungai, sehinga terjadi kenaikan badan sungai. Proses sungai yang awalnya telah jadi lateral, kembali mengalami gerusan secara vertikal dan badan sungai yang terangkat kemudian menjadi teras. Proses ini terjadi menyebabkan adanya agradasi dari sungai tersebut. Proses degradasi juga terjadi pada teras yang membentu longsoran-longsoran, sehingga perlu cukup cermat dalam menarik korelasi untuk suatu teras sungai (Gambar 4).


Gambar 4  Proses teras sungai berkaitan dengan proses tektonisme. (A i) menunjukkan teras agradasi yang diakibatkan pengangkatan dan erosi vertikal cukup signifikan. (A ii) merupakan teras degradasi yang diakibatkan adanya perubahan elevasi akibat suplai yang tinggi, sehingga material lebih banyak. (B i dan ii) menujukkan penarikan teras sungai yang berpasangan maupun tidak berpasangan. (C) merupakan penggambaran suatu perkembangan teras sungai dengan berbagai parameter yang telah disebutkan sebelumnya (Burbank dan Anderson, 2012).

Sementara pola kelurusan dapat menunjukkan adanya perubahan tertentu yang dialami suatu bentuk lahan akibat adanya deformasi tektonik dengan melihat kelurusannya. Secara garis besar adalah melihat bagaimana pola tersebut mengalami pembelokan maupun adanya perubahan yang membuat tidak terjadinya kemenerusan pada pola ini. Sebagai contoh, pada suatu aliran sungai yang terlihat adalah sungai yang membelok setelah sebelumnya menujukkan pola yang lurus. Kemudian perubahan ini dapat menjadi indikasi adanya pergeseran secara tektonik yang membuat arah aliran sungai membelok (Gambar 5).

Gambar 5  Proses pembelokan sungai yang menunjukkan pengaruh proses tektonik didalamnya. (A) adanya sungai yang memiliki jarak 12m masing-masingnya yang menunjukkan adanya pergeseran sungai yang terjadi secara periodik. (B) Kenampakan peta yang menujukkan perubahan aliran sungai akibat sesar mendatar yang mempengaruhi kondisi kontur daerah tersebut (Burbank dan Anderson, 2012).

Parameter-parameter diatas dapat dipergunakan dalam melakukan evaluasi gempa di suatu wilayah. Sebagai contoh, pada Pulau Jawa dalam pengamatan teras-teras pantai dapat dilakukan di Pantai Selatan Jawa, kemudian pengamatan teras-teras sungai dapat diamati pada daerah aliran Bengawan Solo, serta adanya pola kemenerusan dapat dilihat pada daerah-daerah perbukitan seperti di Pegunungan Selatan maupun Pengunungan Bayah.

REFERENSI
Burbank, D. W. dan Anderson, R. S. (2012). Tectonic geomorphology (2nd ed.). Chichester, West Sussex, UK: John Wiley & Sons.

Komentar